-->

Rabu, 26 November 2014

INI DEMOCRAZY, MAN!!

Di masjid tempat tinggal saya baru saja melaksanakan pemilihan ketua takmir. Takmir yang lama sudah terpilih selama dua periode, sehingga tidak dipernankan untuk mencalonkan lagi. Diluar takmir ada lembaga bernama Dewan Pertimbangan Masjid (DPM), yang anggotanya merupakan perwakilan dari tiap-tiap RT. DPM inilah yang menyelenggarakan pemilihan umum ketua takmir setiap 3 tahun, sesuai dengan masa bakti takmir. DPM pulalah yang menentukan calon ketua takmir yang diperoleh dari calon yang mendaftarkan diri untuk menjadi ketua takmir, atau melalui musyawarah untuk menentukan siapa yang akan dijadikan calon ketua takmir.

Pemilihan ketua takmir dilakukan dengan cara setiap keluarga diberi satu hak pilih. Setiap keluarga memilih ketua takmir dengan cara mencontreng calon ketua takmir yang dilakukan bilik suara di tempat pemilihan suara.

Pada pemilihan ketua takmir kali ini ada 3 calon. Dari usia saya anggap cukup merata. Calon ketua no. 1 dari generasi tua, colon no. 2 berusia menengah dan calon no. 3 berusia masih relatif muda. Saya sendiri menjagokan calon dengan nomor urut 3 karena dari pendidikan, beliau yang menempuh pendidikan paling tinggi. Dari amal ibadah, no. urut 3 lebih sering mengikuti kegiatan masjid dan sholat 5 waktu di masjid lebih sering dibandingkan dengan calon lainnya. Dari segi keorganisasian beliau sering menduduki jabatan di kepanitiaan kegiatan masjid. Setidaknya itu alasan-alasan mengapa saya menjagokan calon no. urut 3.

Namun setelah pemilihan, saya agak "kecewa" karena yang saya jagokan malah mendapat suara yang paling sedikit. Ada pelajaran yang dapat saya petik dari hasil pemilihan ketua takmir kali ini. Ketua takmir dipilih oleh warga. Ketua takmir yang dipilih otomatis sesuai dengan keinginan banyak warga. Apabila warga senang dengan pengajian yang banyak ketawanya (misalnya), maka akan memilih katua takmir yang nantinya bisa mengadakan pengajian yang ustadnya lucu (meskipun pelajaran yang didapat sedikit, atau bahkan tidak masuk ke hati sama sekali). Jika warga banyak yang menganggap "pokoknya sholat" tanpa ada peningkatan kualitas amal sehari-hari maka yang dipilih juga ketua takmir yang "slow" saja. Dus, pemimpin yang dipilih dengan sistem demokrasi akan mencerminkan yang memilihnya. Jika yang terpilih orang yang senang humor sementara yang dipimpin orangnya serius semua, mungkin akan pusing tujuh keliling. Sebaliknya jika yang terpilih orang yang serius, sementara orang yang dipimpinnya nyantai-nyantai saja, mungkin segera minta mengundurkan diri.

Inilah demokrasi, pemimpinnya mencerminkan yang dipimpin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar